Kamis, 18 Juni 2009

Penghormatan Relik

Penghormatan Relik Yang Mulia Ashin Jinarakkhita Mahasthavira



Setelah jasad Ashin Jinarakkhita dikremasi, ditemukan sisa-sisa kremasi yang cukup banyak. Sisa kremasi berupa butiran kristal yang ditemukan di antara abu jenazah ini disebut relik yang diyakini merupakan bukti pencapaian tataran kesucian tertentu dalam agama Buddha. Pada peringatan 100 tahun kebangkitan nasional Indonesia ini, Sangha Agung Indonesia, Majelis Buddhayana Indonesia, dan Yayasan Ashin Jinarakkhita, memberi gagasan untuk melaksanakan kegiatan Penghormatan Relik Y.M. Ashin Jinarakkhita demi memberi kesempatan kepada umat Buddha di Indonesia untuk memberikan penghormatan kembali kepada beliau.

Acara Penghormatan Relik ini dilaksanakan di 10 kota di Indonesia, yaitu Medan, Pekan Baru, Jambi, Lampung, Surabaya, Semarang, Bandung, dan Jakarta. Dan di kota Medan sendiri, acara tersebut dilaksanakan pada hari Minggu, 8 Juni 2008 di Tiara Convention Center, mulai pukul 13.00 WIB hingga pukul 20.30 WIB. Di acara yang terbuka untuk umum ini, selain dapat melaksanakan upacara penghormatan relik, umat yang hadir juga berkesempatan untuk melihat pameran foto perkembangan agama Buddha di Indonesia.

Umat juga berkesempatan berpartisipasi dalam pembangunan Gedung Prasadha Jinarakkhita, yang direncanakan akan menjadi pusat studi dan penelitian Buddhis. Selain itu, juga terdapat kebaktian bersama yang dimulai pada pukul 19.00 WIB, yang dipimpin langsung oleh anggota Sangha. Untuk memberi kesempatan yang lebih banyak kepada umat Buddha di kota Medan, acara penghormatan relik yang rencananya hanya satu hari tersebut, diperpanjang selama tiga hari, yang bertempat di Vihara Borobudur Medan, yaitu mulai dari Senin, 9 Juni 2008 hingga hari Rabu, 11 Juni 2008.
.
Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita
[Pelopor Kebangkitan agama Buddha Di Indonesia]



Bhante Ashin, demikian panggilan umat Buddha yang ditujukan kepada Yang Mulia Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita. Beliau dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 Januari 1923. Beliau menyelesaikan sekolah dasarnya di Kota Kembang - Bogor, lalu melanjutkan sekolah menengahnya di PHS Jakarta, kemudian HBS B di Jakarta. Beliau melanjutkan pendidikan tingginya di THS Bandung (sekarang ITB) pada jurusan Ilmu Pasti Alam. Beliau tidak sempat menamatkan pendidikannya di THS karena perkuliahan dihentikan ketika Jepang masuk ke Indonesia. Pada awal tahun 1946, beliau meneruskan pendidikannya di Belanda sebagai pelajar pekerja. Di Belanda beliau kuliah di Fakulteit Wis en Naturkunde pada Universiteit Gronigen. Beliau mendalami Ilmu Kimia yang memang menjadi pelajaran favoritnya.

Semasa kecil beliau hidup prihatin. Untuk membantu meringankan beban kedua orang tuanya beliau bekerja sebagai loper. Walaupun demikian jiwa sosialnya sudah terlihat, ia sering membagikan makanan kecil yang dibeli dari hasil jerih payahnya kepada teman-teman sepermainannya.

Ketika masih berusia belasan tahun, beliau sudah menjadi seorang vegetarian. Beliau juga tertarik pada dunia spiritual, beliau sering belajar kepada para suhu di kelenteng-kelenteng, haji, pastur, dan tokoh-tokoh teosofi. Beliau mengenal agama Buddha dari tokoh-tokoh Teosofi dan dari perkumpulan Tiga Ajaran.

Filsafat modern maupun kuno sudah menjadi makanan sehari-harinya. Jika anak-anak lainnya senang bermain-main, Bo An, demikian nama kecil beliau, lebih suka mengembangkan kehidupan batinnya, misalnya dengan bertapa di Gunung Gede. Ketika menjelang dewasa beliau aktif dalam usaha pemberantasan buta huruf dan ikut dalam kegiatan dapur umum untuk menolong rakyat sekitar yang kelaparan.

Ketika di negeri Belanda beliau juga mengikuti kuliah filsafat, belajar bahasa Pali dan Sansekerta, dan mendalami ilmu kebatinan. Di negeri Belanda ini pula minatnya pada Buddha Dharma semakin kuat, sehingga sebelum menyelesaikan pendidikannya beliau memutuskan untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Buddha Dharma. Sekembalinya ke Indonesia, beliau menjadi seorang Anagarika. Semasa menjadi Anagarika ini, beliau sudah aktif menyebarkan agama Buddha walaupun hanya terbatas di perkumpulan Teosofi dan Tiga Ajaran.

Ketika menjadi Anagarika ini, beliau mencetuskan ide berlian untuk menyelenggarakan upacara Tri Suci Waisak secara nasional di Candi Borobudur. Akhirnya pada tanggal 22 Mei 1953 acara tersebut berhasil dilaksanakan. Upacara ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai kalangan. Inilah satu momen penting tanda kebangkitan agama Buddha di Indonesia. Masyarakat mulai menyadari bahwa agama Buddha dan penganutnya masih ada di Indonesia.

Beliau mendalami Dharma dari seorang mahabhiksu yang berdiam di Vihara Kong Hoa Sie. Pada bulan Juli 1953, beliau ditahbiskan menjadi seorang samanera dengan nama Ti Chen. Penahbisan tersebut dilakukan menurut tradisi Mahayana di bawah bimbingan Y.A. Sanghanata Arya Mulya Mahabhiksu (Pen Ching Lau Ho Sang).

Atas anjuran guru yang pertama ini untuk mendalami Dharma di luar negeri, beliau pergi belajar ke Burma. Selama beberapa bulan beliau menjalani vipassana di Pusat Latihan Meditasi Mahasi Sasana Yeikhta, Rangoon. Dalam waktu kurang dari sebulan, beliau mendapat kemajuan yang amat pesat. Beliau mendapat bimbingan khusus dari Y.A. U Nyanuttara Sayadaw. Pada tanggal 23 Januari 1954 Samanera Ti Chen ditahbiskan sekali lagi menjadi seorang samanera menurut tradisi Theravada, dan pada sore harinya diupasampada menjadi seorang bhikkhu. Y.A. Agga Maha Pandita U Ashin Sobhana Mahathera, atau yang lebih terkenal dengan nama Mahasi Sayadaw menjadi guru spiritual utamanya (Upajjhaya). Gurunya pula yang memberi nama Jinarakkhita. Kata Ashin sendiri merupakan gelar yang diterimanya sebagai seorang bhikkhu yang patut dihormati secara khusus. Beliau tinggal di Burma selama beberapa saat untuk lebih mendalami Dharma dan meditasinya.

Pada tanggal 17 Januari 1955 beliau pulang ke Indonesia. Kembalinya beliau ke Indonesia membawa kegairahan tersendiri bagi simpatisan Buddhis di Indonesia. Beliaulah putra pertama Indonesia yang menjadi bhikkhu sejak keruntuhan Kerajaan Majapahit. Di Jakarta beliau tidak berdiam diri. Beliau segera merencanakan untuk mengadakan tour Dharma ke berbagai daerah di Indonesia.

Akhir tahun 1955 dimulai tour Dharma ke pelosok-pelosok tanah air. Beliau memulainya dari daerah Jawa Barat. Dalam perjalanannya itu beliau mengunjungi setiap daerah yang ada penganut agama Buddha-nya, tidak peduli di kota-kota besar maupun di desa-desa terpencil. Kunjungan beliau memberi arti tersendiri bagai umat Buddha Indonesia di berbagai daerah yang baru pertama kali melihat sosok seorang bhikkhu. Tour Dharma ini tidak terbatas di Pula Jawa saja. Bali, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya juga beliau kunjungi. Pendek kata, hutan diterobosnya, gunung didaki, laut diseberangi, untuk membabarkan Dharma yang maha mulia ini kepada siapa saja yang membutuhkannya.

Setelah semakin banyak umat Buddha, dan semakin banyak murid beliau yang ditahbiskan menjadi upasaka, Bhante Ashin mendirikan Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI), pada bulan Juli 1955 di Semarang. Pada tahun 1979 PUUI berganti nama menjadi Majelis Buddhayana Indonesia.

Dalam setiap kesempatan berkunjung ke berbagai daerah tersebut Bhante Ashin selalu mengingatkan umatnya untuk tidak bertindak masa bodoh terhadap kebudayaan dan ajaran agama Buddha yang sudah sejak dulu ada di Indonesia. Galilah yang lama, sesuaikan dengan jaman dan lingkungan. Beliau menegaskan bahwa usaha mengembangkan agama Buddha tidak dapat lepas dari upaya untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia secara keseluruhan. Beliau mendorong umatnya untuk terus menggali warisan ajaran Buddha yang tertanam di Indonesia. Karena bagaimanapun, secara kultural ajaran yang pernah membawa bangsa kita pada jaman keemasan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit itulah yang akan lebih bisa diterima oleh bangsa kita sendiri.

Salah satu hasil penggalian yang sangat penting adalah konsepp Ketuhanan dalam agama Buddha yang dianut oleh nenek moyang Bangsa Indonesia. Dari berbagai penelitian terhadap naskah-naskah kuno dalam Kitab Sanghyang Kamahayanikan, oleh para cendikiawan Buddhis Indonesia kala itu, yang merupakan murid-murid Bhante Ashin, akhirnya istilah Sanghyang Adi Buddha dinyatakan sebagai sebutan Tuhan dalam agama Buddha khas Indonesia. Doktrin inilah yang sejak saat itu giat disebarkan oleh murid-murid Bhante Ashin, diantaranya Alm Y.A. Bhikkhu Girirakkhito Mahathera, Herman S. Endro Dharmaviriya, Dicky Soemani, Karbono, dan sebagainya. Namun sayangnya ada beberapa diantara mereka yang akhirnya malah menentang dokrin Sanghyang Adi Buddha ini.

Sikap yang terus konsisten pada diri Bhante Ashin ialah beliau tidak pernah berpihak kepada salah satu mazhab/sekte manapun dalam agama Buddha. Disamping menyebarkan ajaran Theravada, beliau juga tidak meninggalkan ajaran Mahayana dan Tantrayana. Semua diserahkan kepada pribadi masing-masing umatnya. "I am just a servant of the Buddha", ujarnya suatu saat kepada Y.A. Dalai Lama.

Salah satu murid beliau yang bernama Ong Tiang Biauw ditahbiskan menjadi samanera dan akhirnya menjadi Bhikkhu Jinaputta. Setelah jumlah bhikkhu di Indonesia mencapai lima orang, Bhante Ashin kemudian mendirikan Sangha Suci Indonesia. Pada tahun 1963, organisasi ini kemudian diubah namanya menjadi Maha Sangha Indonesia. Namun tanggal 12 Januari 1972, lima orang Bhikkhu yang sebenarnya adalah murid beliau sendiri, yang menganggap bahwa hanya ajaran Theravada saja yang benar, memisahkan diri dari Maha Sangha Indonesia dan mendirikan Sangha Indonesia. Walaupun kemudian sempat bersatu kembali, dan Maha Sangha Indonesia dan diubah namanya menjadi Sangha Agung Indonesia (Sagin), para Bhikkhu itu kembali memisahkan diri dari Sangha Agung Indonesia dan mendirikan Sangha THeravada Indonesia.

.

Tahun 1978, murid beliau yang lebih berorientasi ke aliran Mahayana, memisahkan diri dari Sagin, dan mendirikan Sangha Mahayana Indoneisa. Sekarang ini di dalam Sagin, yang masih tetap dipimpin beliau terdapat persatuan yang manis antara para Bhikkhu (Sangha Theravada), para Bhiksu (Sangha Mahayana), maupun para Wiku (Sangha Tantrayana), dan para Bhiksuni (Sangha Wanita). Semua bersatu dalam kendaraan Buddha (Buddhayana). Memang pengetahuan beliau yang luas mengenai berbagai aliran dalam agama Buddha memungkinkan beliau untuk dapat mengasuh umat dengan latar belakang yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing.

Sebagai seorang bhikkhu, beliau tidak hanya dikenal oleh umat Buddha di Indonesia. Pada saat awal menjadi bhikkhu, beliau mendapat julukan The Flying Monk oleh umat Buddha di Malaysia dan Singapura karena kegesitan beliau untuk ‘terbang’ dari satu tempat ke tempat lain untuk membabarkan Dharma. Beliau juga beberapa kali mengikuti beberapa kegiatan keagamaan yang berskala internasional. Diantaranya Persamuan Keenam (Chatta Sangayana) yang diadakan di Rangoon, tahun 1954-1956, juga konferensi-konferensi yang diadakan oleh The World Buddhist Sangha Council maupun The World Fellowship of Buddhists. Beliau juga pernah menjadi wakil presiden untuk The World Buddhist Sangha Council dan The World Buddhist Social Services.

Saat ini beliau lebih banyak berdiam di Vihara Sakyawanaram, Pacet. Bhante Ashin masih tetap hidup sederhana dibiliknya yang kecil di vihara tersebut. Di usianya yang sudah senja ini, beliau memang sudah tidak banyak membabarkan Dharma lagi. Namun beliau tetap ‘mengajarkan’ kepada kita semua, umat Buddha Indonesia, melalui sikap dan tingkah laku beliau sehari-hari.

Banyak tokoh-tokoh Buddhis sekarang ini yang merupakan murid beliau. Bapak Oka Diputhera, pejabat sementara ketua umum Walubi, mengenal ajaran Sang Buddha dari beliau. Demikian pula dengan Alm. Bhante Giri adalah salah satu murid beliau yang dulu sering bersama-sama beliau dalam menyebarkan Dharma. Juga Brigjen Soemantri, salah satu tokoh pendiri Walubi, merupakan salah satu murid beliau yang setia. Dr. Parwati Soepangat, salah satu tokoh wanita Buddhis Indonesia dahulu kerap ikut bersama beliau berkunjung ke berbagai daerah, pada awal-awal masa kebangkitan agama Buddha di Indonesia.



Rabu, 17 Juni 2009

(GNH)


Gross National Happiness (GNH)

Dr. Tavivat Puntarigvivat

Pendahuluan

Gross National Happiness (keuntungan kotor Kebahagiaan nasional) adalah suatu alternatif ekonomi yang menentang tendensi itu. Hal Itu pertama dinyatakan oleh raja dari Bhutan, Baginda/Paduka Yang Mulia Jigme Singye Wangchuck. Berakar dari pendapat Buddhist bahwa tujuan hidup yang terakhir adalah kebahagiaan yang bagian dalam. Pada tahun 1972, Raja Bhutan, yang merasakan tanggung jawab untuk menggambarkan pengembangan dalam kaitannya dengan kebahagiaan 700,000 orang-orang, dibanding dengan suatu pengukuran abstrak ekonomi seperti GNP, mengumumkan gagasan untuk GNH dan komitmen yang dibuat dan akan mengembangkan negeri dengan filosofi GNH.

Filosofi dari GNH terdiri atas empat penyangga. Mereka adalah promosi pengembangan ekonomi-sosial yang patut, konservasi dari lingkungan alami, pemeliharaan dan promosi nilai-nilai budaya dari pemerintahan yang baik.

1. Promosi bagi dari persamaan dan ketahanan, Dr. Tavivat yang ditunjuk khususnya bagi pemenuhan keperluan bidang pertanian tradisional Bhutan. 79 persen dari orang-orang Bhutan masih petani. Pendapatan lain negara dihasilkan dengan penyediaan listrik tenaga air ke India dan oleh pariwisata, yang secara hati-hati dimonitor dampaknya pada budaya tradisional Bhutan. Bhutan sampai sekarang telah berhasil menggantikan pembatasan ekspose ke perdagangan yang global, investasi modal asing, turisme dan mass media yang modern. Negara percaya bahwa suatu pengembangan yang holistic dari individu dan masyarakat, bahwa pengembangan mencapai suatu saldo yang tepat antara ekonomi, sosial, emosional, budaya dan rohani orang-orang adalah penting. Ini telah mendorong pengumuman objektif dari mengamati pengembangan sebagai proses yang berlanjut ke arah keberhasilan saldo antara material dan kebutuhan tak terukur dari individu dan masyarakat. Konsep mengingatkan negeri, bahwa rata-rata selalu dipertimbangkan dalam kaitan dengan akhir dan, oleh karena itu, tiap-tiap langkah dalam pengembangan material dan perubahan harus diukur dan dievaluasi untuk memastikan bahwa ia akan didorong kearah kebahagiaan, tidak hanya pengembangan.

2. bagi konservasi lingkungan alami, [masyarakat/orang] Bhutan sudah menghargai lingkungan yang alami, dan hidup selaras dengan unsur-unsurnya yang menghormati kesucian dari hidup dan memuja pegunungan, hutan dan sungai seperti dipercayai dari para dewa. Keyakinan Buddhist menjadi utama, telah menanamkan nilai sangat dalam bagi orang-orang bahwa semua format dari proses menjadi, tidak hanya hidup manusia adalah suci dan mahal. Hampir tiga perempat area daratan mempunyai sejumlah hutan dari jenis subtropis dan hangat serta pauncak dingin menjadi tempat tinggal alami bagi keaneka ragaman tumbuh-tumbuhan dan hewan. Berbagai ekosistem melindungi sebagian dari jenis yang paling eksotis dari Himalaya itu. Pada Kenyataannya, hutan Bhutan dilindungi di depan hukum membatasi banyaknya pohon yang dapat dipotong untuk membangun rumah. Orang-Orang dapat mendatangi dan meminum air bersih.

3. bagi pemeliharaan dan promosi dari nilai-nilai budaya, GNH didasarkan pada nilai-nilai non-material seperti budaya, sosial dan nilai-nilai lingkungan. Dalam rangka mencegah lenyapnya negeri dalam pusaran air peradaban jaman ini, pemerintah telah membuat banyak aturan dan peraturan untuk orang-orang untuk mengikuti nya. Sebagai contoh, semua Orang Bhutan harus memakai seragam nasional ketika mereka mati. Semua Bangunan, mencakup rumah sakit, bank, sekolah, dan tempat tinggal, harus dibangun dengan gaya tradisional, dengan mengabaikan apakah bahan bangunan adalah tembok dan kayu atau batang-baja dan cor. Di sekolah kesenian, para siswa menggunakan jangka dan penggaris untuk menciptakan lukisan Buddhist yang tepat. Tiap-Tiap garis harus digambar keperluan standard. "memelihara budaya tradisional dalam keadaan hidup" telah menjadi semboyan dari Bhutan.

4. Pada ketika ketika Dr. Tavivat dan sejumlah sarjana yang disponsori oleh Kementerian Luar Negeri Thailand mengunjungi Thimpu ibukota Bhutan, Tsechu atau Festival untuk menghormati Padmasambhava- yang dirayakan pada musim gugur. Pusat aktivitas adalah suatu tarian topeng religius yang diadakan di halaman yang besar dari dzong yang sangat besar, dan sebagai pusat administratif dan religius dari daerah itu. Pengamatan dari tarian yang secara langsung memberkati pendengar dan juga melayani untuk memancarkan prinsip Buddhism Tantra bagi orang desa itu. Orang-Orang dari semua pelosok negeri yang datang tidak hanya bersaksi tarian yang religius tetapi juga di perayaan negeri yang adil. Orang Desa melingkupi semua daerah yang datang untuk suatu hari sosialisasi dan ketaatan religius sedang menyokong sesaji bagi Lama atau biara dalam festival itu. Ini adalah nilai paling menarik tentang Bhutan untuk menarik wisatawan terutama sekali dari Barat untuk mendalami budaya asli Tradisi Asia. Bhutan masih berusaha memenuhi kebutuhan infrastruktur turisme dan fasilitas yang terbatas selama musim puncak. Menyadari bahwa turisme yang tak terkendalikan dapat mempunyai efek tidak dapat diubah dan bias membinasakan lingkungan lokal, kultur dan identitas dari orang-orang, pemerintah Bhutan telah memperkenalkan tarif wisatawan sehari-hari untuk membatasi banyaknya wisatawan yang mengunjungi Bhutan setiap tahun. Wisatawan dibebani tarip US $200 per hari) selama perjalanan keliling mereka di Bhutan. Ransel Punggung wisatawan tidak diijinkan.

5. bagi sistem pemerintahan yang baik, Baginda/Paduka Yang Mulia Jigme Singye Wangchuck telah berkuasa selama 33 tahun dan menyerahkan kekuasan mutlak pada tahun 1998. raja dari Bhutan sekarang ini mengatur bersama dengan pemerintah, suatu majelis dan suatu dewan penasehat kerajaan. Ia akan turun ketika negeri akan melaksanakan pemilihan nasional pertamanya untuk memilih pemerintahan di bawah sistem demokrasi yang bersifat parlementer pada tahun 2008. Pada waktu itu, Paduka Yang Mulia pemimpin pengendali kerajaan kecil Himalaya akan digantikan oleh putranya, pangeran mahkota. Dalam Pidatonya yang diterbitkan di surat kabar negeri, Raja Wangchuck menyetakan ia mempunyai kepercayaan bahwa masyarakat Bhutan akan mampu memilih partai politik yang terbaik dan mampu menyediakan penguasaan baik serta melayani minat dari bangsa itu. Sepanjang kunjungan Dr. Tavivat dan pihaknya, suatu draft konstitusi, yang menyediakan dua gedung parlemen – 75anggota majelis nasional dan 25 anggota dewan nasional dengan raja sebagai kepala negara, sedang dalam proses penjajagan publik. Raja memperbandingkan untuk merancang gambaran dari gaya hidup yang sederhana, lebih menyukai bekerja di pondok kayu yang kecil di atas diatas istana yang digunakan seperti benteng oleh empat isterinya, semua saudarinya.

Pada hubungan ini, Nissara Horayangura yang membuat Beberapa komentar yang pertama tentang tiang GNH mengenai persamaan dan distribusi yang adil tentang pendapatan. Di sana mempunyai beberapa kelas yang berbeda khususnya yang kaya dan miskin di Bhutan kendati diumumkan dari kesempatan yang sama. Dr. Tavivat menunjukkan kemiskinan dan ketidaksamaan itu masih ada disana. Ia melihat di Bhutan, bahwa hanya beberapa tempat yang baik dirancang oleh pemerintah dimaksudkan untuk turisme. Ia membaca beberapa artikel di internet bahwa beberapa orang Bhutan pergi protes di depan Kantor PBB di Bangkok. Tidak Ada pejabat menjamin untuk perlindungan hak azasi manusia warganegara. Orang-orang Bhutan dijamin dan bahkan tidak menikmati hak dasar manusia.

Colin Holt mencerminkan bahwa empat prinsip tersebut sepertinya timbul berhadapan dengan kebahagiaan. Karena tiang yang pertama, menunjukkan bahwa mereka tidaklah menyediakan persamaan untuk orang-orang. Perihal tiang yang kedua, rencana rumah listrik tenaga air besar kemungkinan menguntungkan dalam terminologi moneter tetapi membinasakan ekologi dan lingkungan. Titik yang ketiga dididik dengan kekuatan orang-orang untuk memakai suatu seragam yang tertentu, Ini bukan kebebasan. Perihal titik yang keempat untuk pemerintahan baik yang akan mengatakan mana yang baik atau yang tidak baik. Buddha mengatakan bahwa kita perlu air untuk menghirup hawa sejuk. Kita mestinya tidak mengambil kata-kata dari yang lain. Kita harus bekerja seperti suatu tukang emas untuk menyemir, menggosok, melelehkan, dan bekerja dengan pedoman diri kita mengungkapkan tugas dan hasil kebahagiaan. Di samping itu, ketika kita memperhatikan Buddhism di Thailand dan Bhutan, ada suatu perbedaan luas pada prinsipnya. Inti sari dari Buddhism bukanlah kebahagiaan. Satu-Satunya kebahagiaan yang dapat kita menerima bukanlah dari sesuatu atau seseorang tetapi dari diri kita. Itu semua tidaklah di luar sana, di sekitar kita, tetapi di dalam diri kita.

Pada saat yang genting ini, Herb Gelb membuat Komentar tentang penghasilan yang berkebalikan seperti ketika kita memperbicangkan tentang kebahagiaan, kita dapat menderita. Di mana ada hidup, disana ada yang sedang menderita. Ada perubahan bentuk yang otomatis antara penderitaan dan kebahagiaan. Kebahagiaan dapat berubah menjadi menderita ketika terlalu banyak duka cita dari hasil kebahagiaan, sedang penderitaan dapat diubah ke kebahagiaan ketika air mata berubah menjadi senyuman.

Frank Newbold menyatakan bahwa kebahagiaan yang benar dalam pemikiran Buddhis adalah perhentian dari keinginan. Ulrich Wilhelm Lippelt menunjukkan bahwa penghentian dari keinginan tidak berarti kebahagiaan sebab kebahagiaan adalah suatu istilah yang sangat spesifik pada kondisi-kondisi dualitas. Hal itu datang secara singkat untuk orang-orang yang tidak mengetahui Dharma dengan baik.

Chris Stanford menunjukkan bahwa kata kebahagiaan adalah suatu artifact Bahasa Inggris modern yang mengatakan dunia. Pada konteks Buddhist, hal itu adalah perhentian dari penderitaan. Ketika penderitaan telah berhenti dan kita memahami apa yang dinyatakan Buddha, kita dapat menggunakan kata kebahagiaan. Dan itu adalah arti kebahagiaan.

Suatu diskusi yang berkenaan dengan perubahan yang demokratis di (dalam) Bhutan telah dididik apakah [itu] adalah asli atau dipandu oleh seseorang dalam kuasa terus untuk sekali waktu. Dr. Tavivat yang diringkas dari apa yang ia membaca mengenai filosofi dari GNH yang ditulis dengan Prime Minister/Perdana Menteri yang terdahulu tentang Prime Minister/Perdana Menteri Bhutan yang tiap-tiap negeri, [seperti;suka] [itu] atau bukan, harus lebih demokratis. Raja Bhutan telah menyiapkan orang-orang Bhutan untuk kecenderungan yang demokratis. [Itu] adalah dari sampai ke perubahan.

Dukungan yang besar dari raja Bhutan adalah kesamaan tingkat derajat dari raja Thailand. Dr. Tavivat menyatakan bahwa Raja Thai mempunyai suatu peran model. Lain daripada raja Bhutan yang mengirim para putranya ke Thailand dan mempelajari politik dan mencintai sebagai pokoknya. Dalam semangat ini, filosofi dari GNH yang diaktifkan raja dari Bhutan telah dibahas jika dibandingkan dengan diri ekonomi kecukupan dari raja Thai. Dr. Tavivat mengatakan bahwa keduanya pergi ke arah yang sama. Bagaimanapun, teori ekonomi yang yang dapat dari raja Thai lebih mikro. Ia tertarik untuk membantu orang-orang yang pedesaan di bawah kapitalisme Thai yang nasional. GNH Raja Bhutan lebih makro. Ia sedang berusaha untuk melihat di negeri secara keseluruhan.

Mengenai derajat tingkat dari pengukuran dari kebahagiaan, orang Bhutan tidak punya indikator spesifik tetapi hanya empat prinsip. Jika orang-orang mempertahankan filosofi itu, mereka akan lebih baik dengan kebahagiaan. Pada pembangunan ekonomi yang sosial, semakin kita berkembang, semakin kita mendapatkan persamaan, makin baik lingkungan adalah semakin orang-orang menghormati budaya mereka sendiri. Dan itu adalah suatu tanda ke arah yang benar itu. Mereka mungkin membangkan beberapa indikator di masa datang. Di dalam Buddhism, kita dapat membagi kebahagiaan ke dalam dua tingkatan: Lokuttara atau tingkatan transendental dan lokiya atau tingkatan yang duniawi. GNH sedang mendiskusikan tentang kesejahteraan/ kesehatan phisik dari masyarakat. Mereka berhadapan dengan empat keperluan seperti tersebut dalam Buddhism yaitu. makanan, pakaian, tempat perlindungan dan obat. Jika semua keperluan dasar dijumpai, orang-orang akan mempunyai waktu lebih untuk suatu tingkat yang lebih tinggi dari tidak menderita (kebijaksanaan).

Selasa, 16 Juni 2009

Jumat, 05 Juni 2009

Program Kelapangan

Teman-teman tidak terasa yah kita sudah mau memasuki tahun ajaran yang baru, semoga banyak yang daftar disini ya.... , sekarang juga dari kalangan luar pun sudah banyak yang mengetahui sekolah tinggi agama buddha ini loh, mungkin sejak diadakannya program keluar. seperti Bimbingan konseling program ini sangat bagus dan menarik, karena banyak dari kalangan luar yang belum tau keberadaan kita, dengan adanya program ini kita sudah banyak yang mengenal lalu program pengamatan tentangn tingkah laku anak ini juga merupakan program yang baik agar kita dapat mengetahui hal-hal/sifat-sifat yang ada dalam diri seseorang individu.

foto bersama mahasiswa/mahasiswi 2009


foto bersama bhante, setelah kuliah umum. tema Motivasi

Perpustakaan STIAB Jinarakkhita

Perpustakaan stiab jinarakkhita banyak sumber-sumber untuk belajar loh....teman-teman gak repot untuk mencari sumber yang diperlukan untuk tugas kuliah lagipula fasilitas disini sudah banyak yang memadai seperti ruang komputer serta difasilitasi internet loh. ayo belajar agar kita bisa........untuk meraih apa yang kita inginkan. untuk bisa kita harus belajar dari yang nol. sehingga kita dapat belajar lebih giat lagi ayo datangn keperpustakaan jinarakkhita, karena belajar, membaca merupakan modal awal kita untuk menjadi yang terbaik asalkan kita mau belajar dan berusaha.